Manado- Adu Argumen antara manajemen Citraland dan penghuni tidak terelakkan saat RDP lintas Komisi DPRD Sulut terkait Iuran Pengelolaan Lingkungan.
Manajemen tampak kebingungan menjawab pertanyaan dasar seputar data dan kontrak awal.
Hal ini membuat warga, seperti Careig Runtu, angkat bicara.
“Jangan terlalu lama menjawab, Pak. Kami punya data, mereka tidak. Kalau mereka tidak bisa jawab, kami yang akan bantu,” cetusnya.
Careig kemudian memaparkan isi kontrak tertanggal 7 Desember 2009 yang menyebutkan rincian awal pembelian Rumah, seperti pembayaran meter listrik: Rp300.300, pengelolaan lingkungan Rp106.900. Posisi tahun kemarin sebelum kenaikan kenaikan Rp429.000. “Bisa Bapak – Ibu Pikiran berapa persen ini yang naik.”
Sementara itu, warga lain bernama Jemmy menambahkan, berdasarkan serah terima tahun 2013, IPL tercatat sebesar Rp204.665 per bulan. Namun, pada tahun 2024 nilainya melonjak menjadi Rp684.500, kenaikan sekitar 335% dalam kurun waktu 11 tahun.
Menanggapi hal ini, anggota DPRD Sulut dari Fraksi PKS, Amir Liputo, mengarahkan pembicaraan ke aspek legalitas.
“Kita hidup di negara hukum. Maka setiap keputusan yang berdampak ke publik harus berdasarkan aturan hukum. DPRD punya tupoksi untuk mengawasi agar tidak ada penyimpangan atau pengambilan hak masyarakat secara sepihak,” tegas Amir.
Ia menyoroti bahwa segala bentuk kenaikan harus dituangkan dalam perikatan yang sah menurut KUH Perdata, khususnya Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian.
“Tanpa kesepakatan kedua belah pihak, keputusan kenaikan IPL yang dilakukan secara sepihak tidak sah dan bertentangan dengan hukum,” tutup Amir Liputo
Manado- DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) lintas komisi bersama warga penghuni kawasan Citraland Manado-Minahasa serta pihak manajemen, yang berlangsung di Ruang Komisi III DPRD Sulut, Senin (20/10/2025).
RDP tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPRD Sulut, Royke Anter, yang membuka forum dengan meminta pihak manajemen Citraland menjelaskan kebijakan yang dinilai bermasalah oleh masyarakat.
Perwakilan manajemen, Dwi Rompas, hadir bersama sejumlah koleganya, yaitu Fredy, Feibe, beserta Udin dari kantor pusat Surabaya, guna untuk menyampaikan klarifikasi.
“Terkait penyesuaian tarif IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) pada tahun 2025, kami telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada warga sejak 28 Februari 2025,” ungkap Dwi.
Ia menjelaskan, penyesuaian ini diperlukan karena sebagian besar biaya pengelolaan lingkungan di Citraland Winangun dialokasikan untuk tenaga kerja. Kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) otomatis berdampak pada beban biaya tersebut.
“Saat sosialisasi, kami sampaikan rata-rata kenaikan berada di angka 8,5%. Kemudian pada 10 Maret 2025, kami menerima kunjungan dari Kerukunan Keluarga Citraland Manado yang meminta agar kenaikan ini ditinjau ulang,” lanjut Dwi.
Permintaan serupa juga disampaikan oleh komunitas KPBCMM (Komunikasi Peduli Bersama Citraland Minahasa-Manado) pada 21 Maret 2025. Mereka datang langsung ke kantor manajemen untuk menyampaikan penolakan terhadap kenaikan serta menuntut perbaikan sistem pengelolaan lingkungan di kawasan tersebut.
“Kami telah menindaklanjuti permintaan masyarakat terkait pengelolaan lingkungan. Namun, usulan penundaan kenaikan IPL dari dua komunitas itu sudah kami teruskan ke Direksi, karena sebagai manajemen, kami hanya pelaksana teknis,” tambahnya.
Namun penjelasan itu tidak memuaskan anggota Komisi III DPRD Sulut, Yongkie Limen. Ia menuntut transparansi menyeluruh terkait besaran IPL berdasarkan tipe hunian serta status lahan.
“Saya minta rincian lengkap. Tipe rumah apa dikenakan IPL berapa. Kalau lahan kosong saja dikenakan IPL, itu harus dijelaskan. Jangan sampai warga bayar tanpa dasar yang jelas,” tegas Yongkie.
Senada, Royke Anter juga menyampaikan keprihatinan soal potensi tunggakan IPL yang membebani penghuni jika tidak ada kejelasan dasar hukum dan perhitungannya.
Menanggapi pertanyaan itu, Dwi menjelaskan bahwa kenaikan IPL hanya terjadi saat UMP naik. Namun jawabannya langsung dipotong tegas oleh Yongkie.
“Terkait jawaban ini. Pertanyaan saya sederhana. Saya bodoh atau Ibu yang bodoh. Pertanyaannya, saat beli rumah, berapa IPL-nya? Sekarang berapa? Soal kenaikan UMP itu urusan lain. Jangan alihkan pembicaraan,” sentil Yongkie tajam
Situasi makin panas saat manajemen Citraland tampak kebingungan menjawab pertanyaan dasar seputar data dan kontrak awal.
Hal ini membuat warga, seperti Careig Runtu, angkat bicara.
“Jangan terlalu lama menjawab, Pak. Kami punya data, mereka tidak. Kalau mereka tidak bisa jawab, kami yang akan bantu,” cetusnya.
Careig kemudian memaparkan isi kontrak tertanggal 7 Desember 2009 yang menyebutkan rincian awal pembelian Rumah, seperti pembayaran meter listrik: Rp300.300, pengelolaan lingkungan Rp106.900. Posisi tahun kemarin sebelum kenaikan kenaikan Rp429.000. “Bisa Bapak – Ibu Pikiran berapa persen ini yang naik.”
Sementara itu, warga lain bernama Jemmy menambahkan, berdasarkan serah terima tahun 2013, IPL tercatat sebesar Rp204.665 per bulan. Namun, pada tahun 2024 nilainya melonjak menjadi Rp684.500, kenaikan sekitar 335% dalam kurun waktu 11 tahun.
Menanggapi hal ini, anggota DPRD Sulut dari Fraksi PKS, Amir Liputo, mengarahkan pembicaraan ke aspek legalitas.
“Kita hidup di negara hukum. Maka setiap keputusan yang berdampak ke publik harus berdasarkan aturan hukum. DPRD punya tupoksi untuk mengawasi agar tidak ada penyimpangan atau pengambilan hak masyarakat secara sepihak,” tegas Amir.
Ia menyoroti bahwa segala bentuk kenaikan harus dituangkan dalam perikatan yang sah menurut KUH Perdata, khususnya Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian.
“Tanpa kesepakatan kedua belah pihak, keputusan kenaikan IPL yang dilakukan secara sepihak tidak sah dan bertentangan dengan hukum,” tutup Amir Liputo. (Oby)

COMMENTS