Manado-Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara (Sulut) di bawah pimpinan Gubernur Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus SE dan Wakil Gubernur DR J Victor Mailangkay SH MH (YSK-Victory) selalu hadir pada persoalan yang dihadapi masyarakat.
Seperti permasalah sengketa tanah yang masih banyak terjadi di Sulut, mendapat perhatian serius Pemprov Sulut.
Seperti di Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pemprov Sulut, Badan Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BAP DPD RI) bersama pihak terkait sehubungan sengketa tanah yang masuk dalam zona konservasi Taman Nasional Bunaken (TNB) melalui SK Permen Kehut Nomor: 734/2/2014 Tentang penetapan wilayah Pulau Bunaken dan Gunung Manado Tua sebagai wilayah konservasi.
Rapat yang digelar di Kantor Gubernur Sulut Teling Manado ini ikut melibatkan masyarakat Pulau Bunaken yang memperjuangkan hak atas tanah yang telah puluhan tahun mereka duduki.
Gubernur Sulut Yulius Selvanus memberikan perhatian serius terkait masalah ini, untuk itu ditugaskan Wakil Gubernur Sulut Victor Mailangkay untuk memimpin RDP tersebut.
Mewakili Gubernur Yulius Selvanus, Wagub Victor Mailangkay mengatakan bahwa pemerintah provinsi sangat mendukung keberlangsungan hidup warganya dan akan memperjuangkan hak mereka atas tanah.
Ditekankannya bahwa air dan tanah yang ditempati masyarakat adalah bagian dari masyarakat itu sendiri dan pemerintah harus mengakui itu.
Data dari Dinas Kehutanan Sulut yaitu menemukan kuburan tahun 1901 di Bunaken Kepulauan.
Dan 89 Hektare (ha) luas Wilayah Pulau Bunaken, 97 persen di antaranya adalah lautan, dan secara akumulasi hutan di Bunaken, terdata dalam luas hutan konservasi 364 ribu ha se Sulut.
Ketua BAP DPD RI Ahmad Syauqi Soeratno bersama team yang datang langsung ke Bunaken Kepulauan hingga memimpin RDP di kantor gubernuran Sulut, menyatakan bahwa pengaduan masyarakat tidak boleh terabaikan.
"BAP berkomitmen untuk memperjuangkan kepastian hukum bagi rakyat, terutama dalam kasus sengketa lahan," tegasnya.
Dia juga menyampaikan kepada semua instansi institusi dan lembaga terkait lainnya, untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat Bunaken Kepulauan. Baik sisi keamanan, pelarangan untuk membangun berbagai fasilitas dulu, dan hal lainnya yang bertentangan di wilayah konservasi TNB.
"Mohon masyarakat diperhatikan dulu, begitupun kepada masyarakat untuk bersabar, sebab semua masukan tersebut akan disampaikan langsung kepada menteri terkait untuk segera ditindaklanjuti," pungkasnya.
Pihak Kanwil ATR/BPN Sulut dan Kota Manado mengakui, sejak adanya konservasi 2014, pihaknya tidak lagi administrasi pengurusan tanah.
"Sebelum 2014 itu, kami menerbitkan 56 sertifikat. Sengketa ini semuanya kami serahkan ke Kementerian Kehutanan, dan selalu siap atas perintah pusat yang mengarah ke kepentingan rakyat," kata perwakilan ATR/BPN.
Selain dari ATR/BPN dan Dinas Kehutanan Sulut, beberapa lainnya juga memberikan pendapat yang hampir sama, yakni mendukung kepentingan hak atas tanah masyarakat, seperti dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Polda Sulut, Pemerintah Kota Manado, dan yang terkait lainnya, menyatakan wilayah konservasi dan sengketa diserahkan kepada Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Masyarakat Bunaken Kepulauan merasa bahwa keputusan Kementerian Kehutanan (Kehut) untuk memasukkan wilayah mereka sebagai zona konservasi pada tahun 2014 adalah keliru dan tidak adil, karena mereka telah tinggal di sana selama lebih dari dua abad. Mereka meminta pemerintah untuk mencabut Permen 734 dan mengakui hak mereka atas tanah tersebut.
Sebanyak 22 orang BAP DPD RI yang ikut hadir dalam RDP mengatakan, bukti sejarah di Bunaken, bahwa telah dihuni sebelum Indonesia merdeka dan regenerasinya hingga saat ini sudah beranak cucu adalah pondasi yang kuat mempertahankan apa seharusnya menjadi hak masyarakat.
Ketua Forum Bunaken Hebat Bersatu (FBHB) Herol Caroles ikut membenarkan pendapat tersebut, menurutnya, dirinya lahir dan besar di Bunaken yang kini sudah berusia kepala empat, merasakan hidup damai sebelum negara mengklaim tanah leluhurnya.
"Kakek saya wafat 1915 dan terdapat banyak bangunan tua juga di Bunaken. Jadi kami itu memiliki bukti sejarah, bukan klaim seperti yang negara lakukan pada kami. Jika perlu datangkan ahli untuk mengecek kebenarannya," kesalnya.
Tokoh masyarakat Bunaken Kepulauan Pieter Sasundame, menambahkan, kalau Bunaken dulunya itu adalah tempat yang nyaman bagi masyarakat. Bahkan tahun 1991 saat kementerian terkait memasukkan Taman Laut Bunaken (TLB) sebagai wilayah konservasi dari negara yang harus dilindungi, warga senang dan sangat menyambut baik, lantaran Bunaken mulai di kenal dari dalam dan luar negeri.
Namun tahun 2014 TLB yang berubah status menjadi Taman Nasional Bunaken (TNB), warga mulai merasa tidak nyaman, lantaran haknya diambil alih negara dengan memasukkan daratan sebagai wilayah konservasi juga.
Berawal dari situ, masyarakat mulai merasa tertekan di negara sendiri, salah satunya tak bisa memiliki sertifikat sepert umumnya masyarakat luas, yang bisa menyekolahkan sertifikatnya dalam berbagai hal.
"Untuk itu, mohon kepada pemerintah daerah hingga pusat, bebaskan tanah masyarakat menjadi hak milik," pintanya.
Adapun lahan konservasi adalah area yang dilindungi untuk menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati. Tidak boleh ditempati atau digunakan untuk kegiatan yang merusak lingkungan. Sementara masyarakat Bunaken Kepulauan telah menghuni wilayah tersebut sejak tahun 1800-an dan memiliki sertifikat tanah, namun tidak dapat menggunakan sertifikat tersebut sebagai agunan atau untuk kebutuhan lainnya karena berbatasan dengan tanah negara.
Hingga tahun 2025 ini, jumlah penduduk Kecamatan Bunaken Kepulauan, kurang lebih 8 ribu jiwa yang tersebar di 4 kelurahan (Bunaken, Alung Banua, Manado Tua 1, dan 2) dan 18 lingkungan (RT/RW) yang berdomisili di Kawasan Bunaken Kepulauan.(*/ifa)


COMMENTS