Bolmong - Peraturan daerah (Sosperda) anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara telah memasuki episode kedua setelahnya sosperda pertama tentang perda Covid-19 pada tahun 2021 lalu. Sosialisasi Peraturan Daerah (Sosper) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut) Julius Jems Tuuk tahap dua terkait Perda Sulut Nomor 8 Tahun 2021, Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas dan Perda Nomor 9 Tahun 2021, Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin, Selasa (25/1), bertempat di Gedung Gereja Jemaat Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM) Petra Pangian, Desa Pangian Tengah, Kecamatan Passi Timur, selasa 25 Januari 2022.
Dalam Sosperda tersebut Tuuk menjelaskan uraian maksud dan tujuan kepada warga setempat, bahkan Tuuk menjaminkan perda yang sudah menjadi produk hukum ini, wajib hukumnya dilaksanakan oleh pelaku dan masyarakat.
” semua harus patuh pada perda ini, lebih patuh siapa yang menjadi pelakunya, jangan hanya sebatas perda saja. Ungkap JT sapaan akrabnya.
“Di Bolmong ini untuk sekolah disabilitas kurang,” kata warga.
Ditambahkannya, untuk permasalahan hukum banyak yang tidak melapor karena takut.
“Sehingga sebelum melangkah langsung pasrah. Permasalahan tanah pun sering terjadi, entah ganti rugi dan penyerobotan tanah tiba-tiba hak mereka hilang. Masalah sertifikat ada yang keluar dan ada yang tidak keluar. Untuk hal ini bagaimana di desa-desa ada mendapat tempat pengaduan. Persoalan yang banyak tentang hukum ini, apakah suatu kali dipanggil pihak kepolisian kalau tidak punya pengacara bagaimana cara mendapatkan itu,” tanya warga.
Menanggapi hal tersebut Tuuk mengatakan, Sosper ini dilaksanakan karena ada keputusan hukum yang ada di lembaga perwakilan rakyat provinsi ada keputusan hukum harus diketahui oleh masyarakat.
“Jadi ada pertanyaan di sini mengapa dibikin di gedung gereja, karena saya setiap kali turun biasanya ada dua titik. Kalau di tahun kemarin saya selalu buat di tokoh-tokoh muslim dengan tokoh adat, supaya informasi ini cepat sampai di masyarakat dan yang satu lagi kita undang tokoh-tokoh agama Kristen dan Hindu,” kata Tuuk yang juga Sekretaris Komisi IV DPRD Sulut ini.
Menurutnya, tujuan dilaksanakan supaya Perda yang dihasilkan oleh DPRD Sulut bisa diketahui terlebih khusus membahas Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas dan Perda Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin.
“Sebelum Perda ini keluar kira-kira pada tahun 2016 dan 2017, saya banyak berkecimpung dan terlibat dalam organisasi anak-anak disabilitas dan masyarakat Sulut penyandang disabilitas. Masyarakat ini kurang diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini alokasi APBD. Tiap kali mau minta bantuan musti bakalae dulu baru dapa perhatian sehingga DPRD Sulut membuat Perda inisiatif,” tegas legislator daerah pemilihan (Dapil) Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Lebih lanjut, eksekutif sebagai pelaksana pemerintah diikat dengan aturan ini.
“Karena ada sekolah-sekolah disabilitas, nah itu akan diperhatikan, guru-gurunya akan disekolahkan dan lain-lain. Jadi, tujuannya akan mensosialisasikan itu. Dan untuk sekolah untuk penyandang disabilitas kalau boleh akan ditambah karena ini aspirasi,” tuturnya.
Menurutnya, untuk sekolah untuk penyandang disabilitas harus berdiri sendiri dan jangan digabungkan dengan sekolah umum
“Sekolah untuk penyandang disabilitas harus berdiri sendiri, tetapi pemerintah menggabungkan itu. Saya anggota DPRD yang tidak setuju dikarenakan anak disabilitas bisa di buli disekolah umum. Yang berikut untuk bantuan pemerintah kepada warga yang disabilitas menurut Perda ini adalah harus memegang kartu terlebih dahulu. Karena dengan adanya kartu tersebut ini merupakan suatu jaminan bagi kita,” ungkap Tuuk yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sulut.
Tuuk juga mengatakan, terkait dengan bantuan hukum, banyak sekali masyarakat miskin yang menjadi korban karena tidak lagi beracara di pengadilan.
“Oleh sebab itu pemerintah dan DPRD Sulut membuat Perda ini. Nanti kalau ada masyarakat yang bermasalah hukum yang tidak paham akan hal tersebut di pengadilan, nanti bapak pendeta bisa memfasilitasi kepada biro hukum dan mereka akan memberikan bantuan pengacara. Pengacara itu kerja sama dengan pemerintah,” katanya.
Ditambahkannya, bantuan hukum untuk masyarakat miskin harus mengacu benar-benar miskin sesuai dengan kriteria Undang-Undang (UU) dan akan diberikan kartu.
“Setelah mendapatkan kartu akan diajukan kepada biro hukum untuk mendapatkan pendampingan dan akan dialokasikan anggaran karena setiap pengacara hanya dibayar 7 juta rupiah. Kalau ada masyarakat yang meminta bantuan hukum karena dikategorikan miskin, pengacara tersebut tidak boleh meminta uang kepada masyarakat yang dia dampingi. Kalau sampai pengacara itu meminta uang kepada masyarakat maka akan dibatalkan perjanjian kerjasamanya,” tandas Tuuk.
Sosperda ini didampingi staf sekretariat DPRD Provinsi Sulawesi Utara Linda Polii dan dua tenaga harian lepas. (***/oby)
COMMENTS