Minahasa Utara - Anggota DPRD Sulawesi Utara (Sulut) Boy Tumiwa menyarankan ahli waris Marie Sumeisey melakukan gugatan perdata ke pengadilan terkait sengketa lahan proyek Bendungan Kuwil di Minahasa Utara (Minut). Hal ini agar ada kejelasan terkait ganti rugi pembebasan lahan di atas proyek itu.
"Ini digugat saja ke pengadilan. Itu semua itu diuji di pengadilan, apakah hak si A atau si B," kata Boy dalam rapat dengar pendapat yang berlangsung di DPRD Sulut, Senin (31/10/2022).Menurutnya, keluarga seharusnya menempuh upaya hukum melalui proses perdata dengan harapan ada kejelasan pembayaran ganti rugi. Hal ini juga nantinya akan jadi acuan pihak BPN atau Balai Sungai melakukan pembayaran.
"Kalau saya langsung jalan pintas ke pengadilan. Saya yakin peradilan kita masih membela, membenarkan keadilan masyarakat, saya yakin itu," ujarnya.
Boy melanjutkan, dirinya pesimis apabila polemik ini masih terus bergulir di DPRD. Masalahnya harus ada keputusan dari pengadilan untuk menyudahi polemik ini.
"Kalau tetap di sini, saya belum yakin ada jalan keluar di sini. Karena pada akhirnya kita akan kembali ke lembaga peradilan," imbuh Boy.
Sementara Asisten Perdata Umum (Asdatun) Kejati Sulut, R Medelu mengatakan apa yang diklaim pihak keluarga atau ahli waris itu ada dua objek yang bersengketa. Ada yang mengklaim milik warga atas nama Christian Agu dan Yopi Karundeng.
Pihaknya sebelumnya telah menyarankan agar ahli waris Sumeisey mengajukan gugatan ke pengadilan.
"Apa yang diklaim, itu ada 2 objek tanah yang si Agu dan Yopi Karundeng, karena tumpang tindih makanya kami menyarankan untuk gugatan," katanya.
Medelu menjelaskan, apabila keluarga mendalilkan bahwa lahan mereka tidak ada sengketa dengan pihak siapa pun, maka harus buktikan. Pembuktiannya dilakukan di pengadilan.
"Silakan gugat pihak termasuk Balai Sungai dan BPN, uang sudah dibayarkan bisa diperoleh, tetapi tidak pernah gugatan," imbuh Medelu.
Dia beralasan BPN tidak punya kewenangan untuk menguji keabsahan dokumen yang diklaim oleh semua pihak. Sehingga perlu digugat, supaya ada keputusan pengadilan pihak siapa yang berhak mengklaim tanah tersebut.
"Saya mengatakan bahwa BPN tidak punya kewenangan menguji surat-surat, silakan diproses masalah hukum, pemalsuan surat atau perdata," katanya.
Sementara ahli waris Sumeisey, Sendy Sumeisey mengaku tidak akan melakukan gugatan. Pasalnya, hingga kini lahan mereka tidak memiliki sengketa.
"Kita mau gugat ke siapa, karena tanah kami tidak bermasalah. Tanah yang konsinyasi itu bukan di tanah kami," kata dia.
Sumeisey menjelaskan, pihak keluarga sudah beberapa kali berurusan dengan BPN serta Balai Sungai, serta BPN terkait masalah tersebut. Namun hingga kini masalah tersebut tidak kunjung selesai.
"Lahan kami masuk Panlok nomor 97, pada saat itu karena sehubungan dengan orang tua sudah tua, sehingga kelengkapan kami yang serahkan pada (27/11/2015), ada tanda terima dari BPN," katanya.
Dia menduga masalah tersebut akibat dari perbuatan dari sejumlah oknum mafia tanah. Buktinya, sejumlah dokumen kepemilikan asli yang sudah diserahkan telah dihilangkan.
Menurutnya, keluarga akan membuat laporan terkait adanya dugaan pemalsuan dokumen ke Mapolda Sulut. Adapun dokumen yang diduga dipalsukan serta telah dihilangkan berupa surat asli keterangan kepemilikan, asli surat keterangan tanah tidak sengketa, asli surat keterangan waris, asli surat keterangan pengukuran tanah, asli surat pernyataan persetujuan.
"Besok kami laporkan pemalsuan dokumen di Polda," pungkasnya. (**/Oby)
COMMENTS